Palasara adalah putra tunggal Bambang Sakri, dari pertapaan Retawu, dengan Dewi Sati, putri Prabu Partawijaya, raja negara Tabelasuket. Ia diberi nama Palasara oleh kakeknya, Resi Manumayasa, yang berarti ; senjata yang ampuh. Nama tersebut merupakan anugrah Sanghyang Jagadnata yang disampaikan oleh Sanghyang Narada.
Sejak kecil Palasara tekun bertapa dan mempelajari ilmu pengobatan. Wataknya halus, penuh semangat, pendiam, cinta dan kasih kepada sesama makluk. Ia memiliki ilmu kesaktian yang dapat menciptakan apa saja sesuai yang dikehendaki. Ketekunannya bertapa pernah diuji oleh Dewata yang beralih rupa menjadi sepasang burung pipit yang bersarang dan menetas di kepalanya, yang menjadi sarana ia bertemu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basuketi, raja Wirata. Saat itu Dewi Durgandini sedang melakukan ruwat ngrame untuk mengobati penyakitnya, menjadi pendayung perahu di Sungai Gangga dengan nama Dewi Lara Amis.
Dengan kesaktiannya Palasara berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Durgandini. Mereka kemudian kawin dan berputra seorang lelaki yang diberi nama Abiyasa. Palasara kemudian menciptakan negara baru Gajahoya, sedangkan prajurit dan rajyatnya diciptakan dari semua mahluk yang hidup di hutan tersebut. Palasara dan Dewi Durgandini juga mempunyai 6 (enam) orang putra angkat yang tercipta dari mala penyakit Dewi Durgandini dan pecahan perahunya, yaitu ; Dewi Ni Yutisnawati, Setatama, Gandawana, Rajamala, Kecakarupa dan Rupakenca.
Atas keluhuran budinya, Palasara merelakan Dewi Durgandini diperistri Prabu Santanu, raja Astina. Ia kemudian membawa Abiyasa kembali ke pertapaan Retawu. Ia meninggal dalam usia lanjut di pertapaan Srungga, masih dalam kawasan gunung Saptaarga.
Akan kutulis ulang sejarah salah arcapada. Apakah Tuan pikir apa yang menjadi titik tolak sebuah perang besar bernama Baratayuda, kelak, dan juga kejadian-kejadian rancu lainnya, adalah keserakahan terhadap kekuasaan, nafsu duniawi untuk mereguk segala kenikmatan, dan hasrat untuk menjadi yang paling hebat? Nanti dulu. Bukan salah mereka di masa depan entah kapan, yang memaksa anak-anak manusia itu saling membunuh di antara sesama saudara. Para dewalah sang kausa prima, pelaku utamanya.
Baiklah, akan kuceritakan sebuah hikayat tentang para titah, yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan, dengan kitab utama. Boleh jadi jagat akan guncang. Barangkali pula hanya seperti angin bertiup sepoi yang tak mampu mengeringkan setetes air di batu. Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran sejati, bukan kebenaran cuma di mata dewa. Namun, catat, aku tak bermaksud menggugat logika absurd para dewa. Sebab, para dewa sendiri lahir tanpa logika-bukankah hanya berdasarkan imajinasi manusia? Inilah aku, Palasara, ingin mengungkapkan bahwa akulah, bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah Hastinapura. Semenjak awal, hikayat memang sarat dengan absurditas. Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak ber-apa-apa .
Namun Sakri, ayahku, dan Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa-setidaknya menurut nalar-ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para penyerang Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja siapa, karena tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian, Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal, kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja. Disamping mengalahkan penyerbu Suralaya, ia toh masih berdarah dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah Resi Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan dewa. Aku toh tidak bangga karenanya. Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan sekaligus.
Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan terhadap ririwa yang berwujud segala rupa yang menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas kepalaku.
Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan induknya justru terbang entah ke mana. O, dewata, jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan baru.
Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata mampu meremukkan jantung melebihi aum raja rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba hingga tepi Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir angin dan riak air sungai.
“Apa yang kaucari, anak muda?”
Aku membalik badan.
Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa.
“Aku mencari sepasang burung pipit.”
“Kamilah burung yang kaucari,” kata yang seorang,
dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang
tangan lain mencengkeram tongkat bertatah permata.
Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah.
“Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang
lebih besar, mengobati penderitaan Putri Wirata.”
“Bagaimana caranya?”
“Engkau akan tahu.” Salah satu tangan kanannya
mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?”
“Arah matahari terbenam.”
Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat apa-apa.
Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar, terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untuk
kuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak seperti garis samar.
Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju.
Ah, mungkin ada orang yang bersedia menyeberangkanku.
Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu
nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku.
“Tuan hendak menyeberang?” Seseorang bertanya lebih
dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau
amis makin menyesaki hidungku.
“Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?” Aku balik
bertanya.
“Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh.”
Aku meloncat ke perahu.
Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada tara?
“Benar, Tuan, dan saya sangat menderita karenanya.” Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku.
“Aku akan memohon.”
Kulipat kedua kakiku di lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar, dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu. Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu, bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini ke sekujur tubuhmu.”
Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa kutempuh.
“Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup mataku.”
Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang. Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang
kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku kekuatan.
Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang, duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit. Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan sebuah gempa.
“Ampun Tuan Putri, berbaliklah.”
Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya yang lembut, hmm — seperti boneka, melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar. Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang memabukkan.
“Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya mengusappipiku.
Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun tak terkendali.
(Duhai dewata, jangan salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang turun-temurun diwariskan para dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta di angkasa di atas punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi adidaya.
“Kunamakan negeri ini Hastina, dan engkau menjadi permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke negeri-negeri manca,” kataku.
“Aku sangat bahagia,” katanya. Wajahnya memancarkan
cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung
setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu
bagian dari cerita: namun –) di jagat fana ini
kebahagiaan tak pernah abadi.
Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba,
datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam
pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan
menggeram.
“Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang
Ratu,” katanya. Aku tak mampu berkata-kata mendengar
permintaannya yang tak biasa.
“Aku tak bisa mengizinkan kecuali dengan izinnya,”
jawabku.
“Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu,
dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
Kupanggil istriku.
Matanya tersenyum.
Kuanggukkan kepala.
Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram ketika
mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting
Putri Wirata, permaisuriku.
“Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan
bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi
istriku?”
Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata
yang kudengar?”
“Bila perlu, kita tentukan di palagan.”
Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling
menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.
Ia menggelepak dalam sekali gebrak. Dengan cepat ia melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Danaku akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala melayang cahaya terang dari langit siang.
“Cucuku, tahan pukulanmu!”
Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antara
kami. Mmh, kebayan para dewa rupanya.
“Sudahlah, berikan negara dan istrimu,” katanya.
“Mengapa?”
“Kau akan tahu kelak sebabnya.”
“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya.”
Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa lebih tahu segalanya.
**
NAH, Tuan, untuk sementara akan kusimpan hikayat singkat yang baru kutulis ini. Kelak akan terbeberkan, mudah-mudahan menjelang perang, bahwa apa yang diperebutkan kedua kubu yang berseteru hanyalah harapan kosong. Mungkin dendamku telah menjadi batu. Namun ia akan terus membara di dada anak cucuku. Tunggulah saatnya, hanya keturunankulah, bukan mereka, yang berhak duduk di singgasana Hastina. ***
Hermawan AKS
Sejak kecil Palasara tekun bertapa dan mempelajari ilmu pengobatan. Wataknya halus, penuh semangat, pendiam, cinta dan kasih kepada sesama makluk. Ia memiliki ilmu kesaktian yang dapat menciptakan apa saja sesuai yang dikehendaki. Ketekunannya bertapa pernah diuji oleh Dewata yang beralih rupa menjadi sepasang burung pipit yang bersarang dan menetas di kepalanya, yang menjadi sarana ia bertemu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basuketi, raja Wirata. Saat itu Dewi Durgandini sedang melakukan ruwat ngrame untuk mengobati penyakitnya, menjadi pendayung perahu di Sungai Gangga dengan nama Dewi Lara Amis.
Dengan kesaktiannya Palasara berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Durgandini. Mereka kemudian kawin dan berputra seorang lelaki yang diberi nama Abiyasa. Palasara kemudian menciptakan negara baru Gajahoya, sedangkan prajurit dan rajyatnya diciptakan dari semua mahluk yang hidup di hutan tersebut. Palasara dan Dewi Durgandini juga mempunyai 6 (enam) orang putra angkat yang tercipta dari mala penyakit Dewi Durgandini dan pecahan perahunya, yaitu ; Dewi Ni Yutisnawati, Setatama, Gandawana, Rajamala, Kecakarupa dan Rupakenca.
Atas keluhuran budinya, Palasara merelakan Dewi Durgandini diperistri Prabu Santanu, raja Astina. Ia kemudian membawa Abiyasa kembali ke pertapaan Retawu. Ia meninggal dalam usia lanjut di pertapaan Srungga, masih dalam kawasan gunung Saptaarga.
Baiklah, akan kuceritakan sebuah hikayat tentang para titah, yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan, dengan kitab utama. Boleh jadi jagat akan guncang. Barangkali pula hanya seperti angin bertiup sepoi yang tak mampu mengeringkan setetes air di batu. Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran sejati, bukan kebenaran cuma di mata dewa. Namun, catat, aku tak bermaksud menggugat logika absurd para dewa. Sebab, para dewa sendiri lahir tanpa logika-bukankah hanya berdasarkan imajinasi manusia? Inilah aku, Palasara, ingin mengungkapkan bahwa akulah, bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah Hastinapura. Semenjak awal, hikayat memang sarat dengan absurditas. Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak ber-apa-apa .
Namun Sakri, ayahku, dan Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa-setidaknya menurut nalar-ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para penyerang Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja siapa, karena tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian, Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal, kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja. Disamping mengalahkan penyerbu Suralaya, ia toh masih berdarah dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah Resi Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan dewa. Aku toh tidak bangga karenanya. Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan sekaligus.
Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan terhadap ririwa yang berwujud segala rupa yang menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas kepalaku.
Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan induknya justru terbang entah ke mana. O, dewata, jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan baru.
Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata mampu meremukkan jantung melebihi aum raja rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba hingga tepi Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir angin dan riak air sungai.
“Apa yang kaucari, anak muda?”
Aku membalik badan.
Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa.
“Aku mencari sepasang burung pipit.”
“Kamilah burung yang kaucari,” kata yang seorang,
dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang
tangan lain mencengkeram tongkat bertatah permata.
Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah.
“Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang
lebih besar, mengobati penderitaan Putri Wirata.”
“Bagaimana caranya?”
“Engkau akan tahu.” Salah satu tangan kanannya
mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?”
“Arah matahari terbenam.”
Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat apa-apa.
Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar, terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untuk
kuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak seperti garis samar.
Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju.
Ah, mungkin ada orang yang bersedia menyeberangkanku.
Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu
nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku.
“Tuan hendak menyeberang?” Seseorang bertanya lebih
dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau
amis makin menyesaki hidungku.
“Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?” Aku balik
bertanya.
“Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh.”
Aku meloncat ke perahu.
Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada tara?
“Benar, Tuan, dan saya sangat menderita karenanya.” Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku.
“Aku akan memohon.”
Kulipat kedua kakiku di lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar, dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu. Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu, bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini ke sekujur tubuhmu.”
Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa kutempuh.
“Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup mataku.”
Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang. Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang
kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku kekuatan.
Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang, duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit. Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan sebuah gempa.
“Ampun Tuan Putri, berbaliklah.”
Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya yang lembut, hmm — seperti boneka, melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar. Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang memabukkan.
“Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya mengusappipiku.
Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun tak terkendali.
(Duhai dewata, jangan salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang turun-temurun diwariskan para dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta di angkasa di atas punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi adidaya.
“Kunamakan negeri ini Hastina, dan engkau menjadi permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke negeri-negeri manca,” kataku.
“Aku sangat bahagia,” katanya. Wajahnya memancarkan
cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung
setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu
bagian dari cerita: namun –) di jagat fana ini
kebahagiaan tak pernah abadi.
Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba,
datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam
pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan
menggeram.
“Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang
Ratu,” katanya. Aku tak mampu berkata-kata mendengar
permintaannya yang tak biasa.
“Aku tak bisa mengizinkan kecuali dengan izinnya,”
jawabku.
“Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu,
dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
Kupanggil istriku.
Matanya tersenyum.
Kuanggukkan kepala.
Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram ketika
mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting
Putri Wirata, permaisuriku.
“Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan
bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi
istriku?”
Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata
yang kudengar?”
“Bila perlu, kita tentukan di palagan.”
Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling
menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.
Ia menggelepak dalam sekali gebrak. Dengan cepat ia melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Danaku akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala melayang cahaya terang dari langit siang.
“Cucuku, tahan pukulanmu!”
Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antara
kami. Mmh, kebayan para dewa rupanya.
“Sudahlah, berikan negara dan istrimu,” katanya.
“Mengapa?”
“Kau akan tahu kelak sebabnya.”
“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya.”
Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa lebih tahu segalanya.
**
NAH, Tuan, untuk sementara akan kusimpan hikayat singkat yang baru kutulis ini. Kelak akan terbeberkan, mudah-mudahan menjelang perang, bahwa apa yang diperebutkan kedua kubu yang berseteru hanyalah harapan kosong. Mungkin dendamku telah menjadi batu. Namun ia akan terus membara di dada anak cucuku. Tunggulah saatnya, hanya keturunankulah, bukan mereka, yang berhak duduk di singgasana Hastina. ***
Hermawan AKS